Rabu, 20 Maret 2013

Asa ARDI

Dingin suasana di lingkungan Tanggamus tidak menyurutkan langkah Ardi menembus hutan demi meraih sekeping harapan, meneguk setetes embun yang bening, menapaki jalan berliku menyusuri tebing berbunga hijau dedaunan bersusun rapi.
Pagi itu Ardi hanya ditemani asa, merajut mimpi penuh angan. Langkah yang gontai  membuktikan tekad yang terpendam dalam hati Ardi. Di tengah belantara diiringi senandung rimba bersahutan, memadu ilusi Ardi yang beku oleh khayalan tak berkesudahan.
Di atas sana Ardi merajut asanya, mengharap apa yang ia cita-citakan dapat menjadi kenyataan. Berbuah kebahagiaan  di masa yang akan datang. Dipelupuk mata Ardi hanyalah bagaimana mewujudkan mimpi,
demi buah hati yang saat ini menjadi harapan.
Mimpi inilah yang membuat Ardi bertekad menebas belukar, menghujamkan butir asa. Sebatang demi sebatang anak kopi pun ditanam Ardi.
Berbulan sudah Ardi di atas sana, meninggalkan istri dan buah hatinya. Kini pohon kopi melalui menghijau bercabang harapan, berbuah asa yang membayang di pelupuk mata Ardi.
Harapan ini sudah mengembang. Butiran  biji kopi berubah menjadi lembaran uang, tempat Ardi mengehempaskan keluh  selama ini,  diiring rasa syukur yang tiada terhingga kepada sang Haliq.
***
Ardi menuruni bukit, menyeberang anak sungai. Jemari kaki menekan pelan dan pasti, karena licin jalan yang harus dilalui. Ardi menuruni lurah, jurang, demi menemui sibuah hati dan istri tercinta, melepas rindu karena berbulan tidak bercengkerama dangan keluarga. Semua ini Ardi lakukan untuk memenuhi harapan keluarga.
Sesampai di desa  tercinta Ardi langsung menuju rumah bahagia yang telah lama tidak dijama. Ardi disambut suka cita keluarga, bagaikan menyambut pulang seorang pahlawan. Hangat, bahagia, gembira. Di wajah Ardi terpancar kebahagian. Buah hati diraihnya dari pangkuan istri tercinta. Senyum buah hati mengobati jerih payahnya selama di dalam rimba. Jauh dari lalu lalang manusia. Yang ada hanya berpacu dengan waktu. Dan berpacu dengan suara sabda alam yang asri. Terkadang bunyi itu begitu indah dan terkadang pula menakutkan. Semua tidak berarti bagi Ardi, yang terpenting asa yang dipendam berbuah kenyataan.
Di dampingi istri sambil menikmati secangkir kopi, Ardi bercengkerama, diseling gelak tawa. Bagaikan pengantin menunggu hari bahagia. Inilah yang dirasakan Ardi ketika sedang berkumpul bersama keluarga. Tetapi jika ia berada dipelukan heningnya suasana dan diselimut dinginnya alam Tanggamus, Ardi hanya bisa membayangkan seperti apakah kehidupan yang ia lalui. Sunyi tak bertepi.
Beginilah sekelumit kisah Ardi dalam membangun mahligai memenuhi kebutuhan hidup. Tak perduli apa kata orang. Yang ada dibenaknya bagaimana bahtera rumah tangganya berkibar  dalam kebahagiaan.

Selasa, 19 Maret 2013

Asa Seorang Ayah


Ayah...,
Ketika rambut putih menghiasi
lembaran  perjalanan
yang kini Engkau tempuh.
Aku hanya mampu menatap lirih,
membayangkan betapa berat
ruas jalan yang kini harus Kau lalui.
Tebing terjal kehidupan  menyeruak di depan mata.
Tapi aku bangga...,
dibalik kekarnya sisa usia
masih terukir nafas-nafas tegar
bergairah tanpa putus asa.
Hanya iman yang selalu memandu langkah
menghiasi kesabaran,
membimbing ketaqwaan
dan berdoa demi hari esok yang penuh
harapan.
Kini usiamu merajut 70-an,
relung mata cekung berhias perjalanan hidup
bergurat indah mewarnai setiap langkah yang
Engkau tempuh.
Asa di benak bertumpuk
agar anak-anak dapat mengenyam
kehidupan yang layak
bersanding dengan rekan sebaya
menikmati hidup yang indah.
                                      By ARAS 





Sabtu, 09 Maret 2013

Di Antara Derita Merajut Masa Depan

Malam larut, Ayu menerawang langit-langit kamar, hanya gambaran kelabu menghiasi  hidup. Tiada kebahagian di sudut sana. Yang ada hanya segumpal gunda menari mempermainkan jiwanya yang gersang.
Ayu merasa, mengapa perjalanan ini begitu gersang. Tiada sekelumit kebahagian dalam diri ini.
Ayu berguman," Ya Allah..., berilah aku segenggam harapan, agar aku mampu menepis duka yang kian menganga, menyelimuti hati yang gunda."  "Apakah hanya ini yang harus kurasakan, berbalut rasa bergelimang nestapa.".
Derita ini membalut hati Ayu. Harapan merajut masa depan seolah tidak mungkin terujud. Yang ada hanya perasaan ketidakyakinan menemani kerapuhan hati. Ayu tidak mampu membendung air mata ketika ia mengingat beberapa peristiwa yang pernah mendera hidupnya.
Dalam pembaringan di ruang sepi, ia meratapi setiap bitir derita yang pernah membentuknya menjadi lemah,kurang percaya, tidak yakin bahwa masa depannya begitu masih panjang. Apalagi usianya baru beranjak dewasa.
Memang masa seperti itu, adalah masa yang sangat labil dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ia masih mengaharapakan belaian kasih seorang ayah. Ia masih mendambakan senyum manis seorang ayah. Tapi kini semua hanya ilusi, dan tidak mungkin ia temui dalam perjalanan hidup.
Kini Ayu mengenyam pendidikan di sebuah SMA. Menurut orang SMA ini sangat Favorit di kotanya.
***
Suatu hari Ayu mengikuti kegiatan yang paling digemarinya di sekolah. Dengan riangnya ia bermain dan bercengkerama dengan kawan sebayanya. Ia tidak merasakan sesuatu, kecuali mengapa hari-hari cepat berlalu.  Burung indah pun tak mampu mengusik kegembiraanya hari itu.
Usai bermain Ayu beristirahan dibawah pohon taman SMA. Tempat ini merupakan tempat favorit bagi siswa untuk merajut canda tawa. Pohon kelengkeng yang rindang, bangku terbuat dari temboh bata yang dihiasi gambar Tapis Lampung berwarna hijau dan kuning. Tempat ini mernuansa hijau. Indah dan asri.
Di sinilah Ayu dan temanya  menghabiskan waktu istirahat belajar.
Tapi kebahagian ini begitu  cepat berlalu. Saat Ayu bercengkerama, ia mendapatkan berita bahwa ayahnya sakit . Ibunya mengatakan bahwa sakit ayah tidak para. Kini ayahnya sudah mulai berbicara. Hati Ayu tenang seperti disiram air embun yang sejuk.
Ayu melanjutkan berengkerama bersama temannya. Ia menonton temannya bermain basket. Gelak tawa menghiasi wajah Ayu.
Ibu Ayu pun nmenelpon kembali. Telepon itu tidak langsung kepada Ayu. Tetapi melalui teman akrabnya. Temannya tidak sanggup menyampaikan berita yang didengar.
Temannya berkata pada Ayu, bahwa ia dipanggil ke kantor.
Yu: " Maaf ia, saya dipanggil ke kantor. Kamu tunggu di sini saja."
"Ia, udah. Sana, nanti gurunya marah."
"Yu, jangan pergi, nanti aku kembali," kata Mira.
"Oke"
Mira pun menuju kantor BK. Di sini Mira mencerita hal-ikhwal apa yang di dengarnya dalam telepon. Dan BK, cepat merespon apa yang disampaikan Mira. BK pun menenmui Ayu. Dan ayu merasakan keganjilan, mengapa Mira temannya menemui BK. Dan sekarang Ayu yang dicari BK. Setelah BK bertemui Ayu. Ayu diajak ke kantor BK. Ayu merasa aneh. Mengapa BK Mengaja Ayu ke kantor.
Setelah sampai di kantor BK, BK menyuruh Ayu untuk lekas pulang. Ayu bertambah gelisah. Bandanya terasa lemas, tidak berdaya. Walaupun tidak ada ucapan BK, kecuali menyuh Ayu pulang.
Ayu: " Sebenarnya ada apa, Ibu menyuruh saya pulang. Ibu jangan menyembunyikan sesuatu. Apakah ayah saya sudah tiada. Jujur Bu. diiringi derai air mata kepedihan."
BK: " Ayu, tidak ada apa-apa."
Ayu: " Mana mungkin Ibu menyuruh saya pulang kalau tidak ada apa-apa."
BK: "Ayu, Ibu sangat sayang pada kamu. Mana mungkin Ibu berbohong. Cuma tadi ada telepon ke sekolah  yang menyuruh Ayu pulang ada keperluan."
Ayu: " Bu, ayu tadi dapat kabar bahwa ayah Ayu sakit. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi, Bu". Sambil berurai air mata. Ayu menangis sejadi-jadinya. Ia tidak tahan membendung kesediahannya. Ia merasa bahwa ayahnya sudah dipanggil yang kuasa.
Ayu tidak sadarkan diri.
Akhirnya pihak sekolah, sepakat membubarkan waktu belajar.  Dan bersama bertakziah ke rumah Ayu.
Setelah sampai di rumah Ayu. Orang berkumpul dan semua tidak ada yang berbicara.semua terpaku pada keadaan. Meraka juga merasa tidak yakin begitu cepat bila Allah akan memanggil hambahnya.
Ayu dipapah oleh rekannya menuju rumah tempat berbaring ayahnya yang terakhir sekali. Derai air mata pun tidak terbendung.
Ayu: "Mengapa begitu cepat ayah meninggalkan Ayu yang masih sangat mengharapakan belaian ayah. Apakah ayah tidak mau melihat Ayu bahagia." teman ayu yang hadir pun turut menangis.
Ibu guru mencoba menenangkan hati Ayu. Suasana di sekeliling nampak kelam semua mengeluarkan air mata.
Ayu memang anak yang jarang bermanja kepada ayah ibunya. Karena ayahnya bekerja di Lampung Tengah di Perkembunan Nanas. Pulang paling 2 minggu sekali. Kesempatan inilah yang dipergunakan Ayu untuk bermanja dengan ayah ibunya. Ayu sudah beberapa kali diajak ayah ibunya bersekolah di Lampung Tengah. Tapi Ayu selalu menolak.
Setelah pemakaman usai. Bapak Ibu guru dan teman Ayu berpamitan pulang.
Ayu: " Mira..., mengapa Allah cepat memanggil ayahku."
Mira: "Yu..., sabar ia. Mira tetap temanmu. Mira menangis, tak tahan melihat temannya akrabnya dirundung duka.
Kepalah Sekolah: "Ayu..., yang sabar ya, nak. banyak berdoa. Doa anak yang solehah di ijabah Allah. Nanti kalau sudang selesai dan sudah tenang jangan lupa sekolah. Kita tidak dapat menolak kehendak Allah. Setiap yang bernyawa pasti akan menemui  ajalnya."
Ayu hanya diam tidak menjawab, air mata tetap menjadio saksi kepedihan hatinya.
Setelah semua teman dan gurunya pulang. Ayu kembali dalam kehampaan. Akan kemana ia kelak. Tidak adalagi orang yang ia kasih dan tempat ia bermanja. Hanya hampar tanah merah menghiasi peristirahan terakhir ayahnya.
Kini Ayu merajut hari depannya menempuh cita-cita di SMA yang ia dambakan. Karena banyak nasihat yang ia terima ketegaran hati Ayu mulai terasan. Kepedihan yang selama ini mebentang di wajahnya, kini sudah hilang. Ayu merajut hari depan bersama teman, dan doa Ibu, Kakek dan Neneknya. Ayu adalah anak tunggal atau semata wayang cantikdan lembut. Di matanya terbayang harapan dan kceriaan kembali bersemi menyirami hari-hari Ayu.

                                                                                        Sekelumit kisa Ayu (By; ARAS)


Perjalanan Suci

Pantai Kotaagung Tanggamus
 Perjalanan...,
Awan putih
menumpuk berbaris di ambang batas
di sini ilusiku berpadu
menerawang membela fatamorgana

kini...,aku berjalan dibatas ilusi
ketika deru itu membiru
dalam benak  berkecamuk
berdecak mengucap syukur
mengagumi karunia-Mu
begitu sempurna, indah...,
tak ada yang dapat kuingkari.

Hanya syukur yang selalu bergelayut dalam relung jiwa,
Irama  indah berpadu mengucap asma Allah.
dalam khusuk...,
mengagung nama-Mu yang tiada tara
                                   Karya ARAS